Mati Serius Cara Ketawa

("Demokrasi Tolol Versi Saridin", Cetakan ke II 1998, Emha Ainun Nadjib)

Mati mereka serius, sehingga hidup pun mereka jalani dengan serius, karena kehidupan adalah suku cadang untuk merakit kematian yang sebaik-baiknya. Setetes darah pun mereka hayati dengan penuh keseriusan, dengan penuh prinsip dan pertimbangan nilai yang matang. Ketika seorang pemuda Madura tergeletak dirumah sakit, diinfus dan membutuhkan sumbangan darah untuk dipompakan ke dalam tubuhnya agar bertahan hidup - ia tetap juga serius untuk memoralkan setiap tetes darah yang akan masuk ke dalam dirinya.
Alhasil, arti Mati Ketawa Cara Madura, adalah mati serius yang dijalani gembira dan batin tertawa-tawa.

Padahal orang Madura tidak mati nelangsa. Mereka umumnya mati ketawa. Rela mati, bahkan memang mengharapkan mati. Karena mati bukan tragedi, melainkan pertemuan cinta abadi. Karena itu juga Madura lebih ringan membayangkan indikator apa saja yang bisa membawa ke kematian. Carok tidak keberatan: akibat paling puncak paling-paling kan mati. Dan carok kan peristiwa untuk membela kehormatan, harga diri dan nilai moral.

"Kalau 30 tahun lagi, 40 tahun lagi, 1000 tahun lagi....?" Kita salah tingkah, tapi jelas: mau! Padahal ternyata Tuhan hanya ngasih jatah kita 55 tahun, dan itu hak Dia sepenuhnya, wong Dia yang bikin kita, Dia yang memiliki license dan copyright atas eksistensi kita seratus persen. Mau apa, lu?

Lain dengan kita yang di Jawa, terutama di Jakarta. Kalau pergi salat Jumat, cemberut wajah kita, dan sesampainya di masjid, dijamin pasti ngantuk mata kita. Kita di kota-kota besar, di wilayah-wilayah metropolitan dari peradaban yang mengaku paling maju ini, telah menjatuhkan pilihan untuk berpacaran tidak dengan Kekasih Sejati, melainkan dengan kesenangan-kesenangan temporer, dengan kekasih-kekasih sementara yang kita book per-jam, dengan kendaraan-kendaraan yang selalu baru, syukur berusia di bawah 20 tahun, serta dengan kedudukan-kedudukan yang jasanya adalah membuat kita merasa cemas akan dijatuhkan oleh para demonstran darinya.
Karena itu kalau mereka berduyun-duyun pergi ke masjid, berbinar-binar wajah mereka. Kalau mereka pergi haji ke Mekah, bercahayalah air muka mereka, sambil diam-diam berdoa: "Kekasih, ambilah aku selama-lamanya! Tak usah Engkau kirim aku kembali ke negeri tipu daya yang penuh fatamorgana di toko-toko serba ada, serta yang kalau seorang bupati mendapatkan rakyatnya mati ditembak tentara dalam proyek yang dijalankannya, ia malah tampak bangga...."

Di Indonesia, tak ada cerita koran atau majalah mati dalam keadaan atau dengan cara ketawa. Pasti dengan sedih dan duka derita. Kenapa? karena negara kita adalah negara Indonesia, bukan negara Madura.
Share:
Designed by MLNRFN | Distributed by MLNRFN